SMP YOS SUDARSO GARUT
Jl. Bank 48 Telp. (0262) 232489 Garut
MENERIMA SISWA BARU
Tahun Pelajaran 2010-2011
Untuk keterangan lebih lanjut bisa datang ke alamat tersebut di atas…
Pendidikan Seberapa Perlukah Kesiapan Anak di Sekolah? Oleh : Handy H 10-Jul-2008, 20:50:54 WIB – [http://www.kabarindonesia.com] |
KabarIndonesia – Saat anak mulai menginjak usia 4 atau 5 tahun, para orangtua akan disibukkan dengan mempersiapkan anak-anaknya mendapat pendidikan formal yang biasanya dimulai dari tingkat Taman Kanak-kanak atau TK.Dari sekolah yang dekat dengan lingkungan rumah, fasilitas yang lengkap, sekolah dengan metode pengajaran yang terbaik, menjadikan anaknya pandai, hingga sekolah yang memiliki ‘nama’ atau kepercayaan dimata orangtua. Berbagai hal tersebut merupakan target atau keinginan dari pihak orangtua dalam rangka membentuk anak-anaknya menjadi seperti yang mereka inginkan. Namun tidak jarang pula terjadi orangtua yang lengah bahkan lupa mengenai keadaan dan keinginan dari dalam diri anak. Apa yang anak kita inginkan. Suasana sekolah seperti apa yang mereka mau. Serta kapan saat yang tepat buat anak untuk menerima pendidikan formal. Hal-hal seperti itulah yang sering kita lupakan, dimana segala keinginan dan obsesi orangtua harus segera terpenuhi tanpa memperhatikan keadaan anak. Kondisi seperti ini yang kemudian memunculkan persoalan yang akan dihadapi baik pada orangtua dan guru pengajar berkaitan dengan perilaku anak yang sangat rumit. Berikut ini adalah bentuk perilaku anak yang rumit dan dapat mengganggu kegiatan pembelajaran:
Phobia di Sekolah Anak dengan Perilaku Sulit Anak yang Hanya Suka pada Satu Kegiatan Anak yang Memiliki Perhatian Sedikit (Short Intention) Anak Pendiam dan Malas Berbicara Berbagai perilaku tersebut diatas menggambarkan bahwa anak tidak mau terlibat dalam kegiatan pembelajaran yang diberikan di kelas. Perilaku tersebut merupakan reaksi penolakan dari dalam diri anak, dan tidak jarang pula bahwa hal itu merupakan bentuk ketidaksiapan anak untuk menerima pendidikan formal. Jika dibiarkan berlarut-larut akan berdampak buruk terhadap kondisi anak yang kemudian mempengaruhi perkembangan belajarnya, serta berpengaruh pada kemampuan sosial dan emosionalnya. Sebelum orangtua memutuskan untuk memasukkan anaknya ke sekolah, hendaknya menyadari kemampuan unik yang dimiliki oleh anak. Mendapatkan informasi seputar perkembangan anak adalah hal yang penting, terutama terhadap kemampuan berkomunikasi (termasuk perkembangan bahasa dan mendengar), kemampuan sosial dalam berinteraksi dengan anak-anak lain seusianya dan orang dewasa, serta kemampuan fisik (misalnya saja kemampuan anak dalam menggunakan pensil atau crayon). Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas bahwa kesiapan anak di sekolah tidak hanya terbatas pada kemampuan kognitifnya, tetapi juga secara multidimensional yang melibatkan perkembangan fisik, sosial dan emosional merupakan pendekatan secara umum yang diperlukan dalam belajar. Orangtua dapat mendorong perkembangan kognisi, fisik dan emosi anak, sebelum mereka memasuki dunia sekolah. Akademi kesehatan anak Amerika menyatakan bahwa terdapat beberapa kemampuan tertentu yang diperlukan oleh anak agar dapat sekolah dengan lancar ditahun pertama, termasuk didalamnya adalah kemampuan : Mampu bermain dengan anak seusianya Bahkan tidak jarang pula mereka menanggapi dengan bertanya mengenai tokoh, kejadian, atau pun alur dalam cerita tersebut. – Kemampuan toilet training Dalam hal ini, anak sudah mampu melakukan aktivitas di toilet tanpa bantuan orang lain. Dari pergi ke toilet sendiri sampai melakukan aktivitas di toilet. Meskipun terkadang masih diperlukan pengawasan dari orangtua. Dapat menggunakan kancing dan resleting baju Anak telah mampu memasang kancing bajunya sendiri dan mampu menggunakan resleting celana tanpa bantuan orang lain. Mampu mengingat nama, alamat, dan nomer telepon Biasanya anak sudah hafal dan mampu mengucapkan nama lengkapnya, nama ayah dan ibunya, alamat rumahnya, serta no telepon rumahnya. Maka dari itu, kesiapan disekolah (school readiness) anak sebelum mereka memasuki dunia pendidikan formal disekolah sangatlah penting. Dengan demikian potensi anak yang terwujud dalam kebiasaan berpikir dan bertindak dapat tercapai secara maksimal. Berdiskusi dengan ahlinya, dokter anak, psikolog dan guru sekolah sangatlah membantu guna mendapatkan informasi dan pengamatan pada anak secara objektif. Meskipun belum seutuhnya Benar, Anak memiliki hak dalam menentukan sesuatu untuk dirinya * Sumber bacaan : American Academic of Pediatrics. 2000. School Readiness. (www.medem.com) |
Gadis
Mei 15, 2009 @ 01:10:52
Bagus juga tuh artikelnya…
Yohanes Baptis Sutarno, S.Pd
Agu 29, 2009 @ 18:18:49
Selamat dan sukses atas lahirnya Blog baru bagi Yos Sudarso Garut. Tetap semangat demi Kemulyaan Allah. GBU
Yohanes Baptis Sutarno, S.Pd
Agu 29, 2009 @ 18:25:07
Merenungkan Makna Perjamuan Malam Terakhir Yang Diadakan Yesus Bersama Para Rasul
Dalam Kamis Putih kita diajak untuk merenungkan makna perjamuan malam terakhir yang diadakan oleh Yesus bersama para rasul. Setiap orang bisa menafsirkan atau memaknai peristiwa ini. Bagiku malam Kamis Putih yang menarik adalah upacara pembasuhan kaki. Hal ini pun sudah banyak orang yang berusaha memaknainya. Aku mau membuat penafsiran tersendiri mengenai perjamuan malam terakhir. Menurut tradisi Yahudi mencuci kaki adalah sebuah bentuk penghormatan seseorang terhadap orang yang dianggap mempunyai status atau jabatan lebih tinggi atau lebih terhormat. Murid membasuh kaki gurunya sebab menganggap guru mempunyai status yang lebih terhormat daripadanya. Pada malam Kamis Putih Yesus mencuci kaki para murid. Jelas ini melawan adat, maka ditolak oleh Petrus. Dia yang adalah murid merasa tidak pantas dihormati gurunya sedemikian rupa. Tapi Yesus tidak mundur dengan penolakan Petrus, bahkan Dia mengancam kalau Petrus tidak mau maka dia tidak akan masuk dalam bagian komunitasnya. Aku yakin bahwa yang gelisah dan menolak bukan hanya Petrus melainkan semua murid dan mungkin juga Yudas. Apakah Yesus hanya mau mencari sensasi saja? Yesus melakukan sebuah perbuatan pasti ada tujuannya. Tindakan mencuci kaki merupakan salah satu bentuk pengajaran bagi para murid. Ini adalah keteladanan mengenai penghormatan. Pada umumnya orang hanya menghormati orang yang dianggap mempunyai status atau kasta yang sederajat atau yang lebih tinggi. Penghormatan hanya berjalan dari bawah ke atas. Yesus sejak awal berusaha membuat sebuah hukum baru, yang berbeda dengan aturan yang berlaku pada umumnya di dunia ini. Dalam Kotbah di Bukit dengan jelas Yesus hendak membangun suatu komunitas yang berbeda dengan masyarakat yang sudah ada. Hal ini bukan sifat Yesus yang aneh-aneh melainkan Dia berusaha membangun sebuah komunitas sempurna. Dunia mengajarkan penghormatan adalah hak orang yang lebih tinggi martabatnya. Orang yang mempunyai jabatan, kekayaan atau kekuasaan. Orang miskin dan marginal hanya wajib menghormati namun dia tidak mendapat penghormatan. Rakyat wajib menghormati presiden sebaliknya presiden tidak mempunyai kewajiban menghormati rakyatnya. Anak wajib menghormati orang tuanya, sebaliknya orang tua tidak mempunyai kewajiban yang sama. Bahkan tidak jarang orang yang dianggap punya kekuasaan tinggi, jabatan tinggi dan sebagainya dapat sewenang-wenang menindas orang yang dianggap lebih rendah. Penghormatan berlaku dari bawahan pada atasan.
Yesus membalik aturan dunia ini. Dia mengajarkan penghormatan dari atasan pada bawahan. Dari guru pada murid. Dari penguasa pada orang yang tidak berkuasa, dari orang terhormat pada para kaum proletar. Ini adalah pukulan penyadaran bagi para murid. Beberapa kali mereka memperdebatkan siapa yang terbesar diantara mereka, sebab dengan merasa terbesar mereka berhak mendapatkan penghormatan dari yang lainnya. Ini adalah suatu bentuk ketidakadilan dimana orang hanya menuntut penghormatan sebaliknya dia tidak mau menghormati sesamanya. Semua manusia adalah citra Allah. Bermartabat sama. Namun tata dunia membuat aneka pembedaan. Dunia mengelompokan manusia dalam bermacam tingkatan. Pembagian ini berdasarkan kelahiran, jabatan, kekayaan dan sebagainya. Ada orang yang terlahir sebagai bangsawan, maka dia secara otomatis menempati sebuah posisi tertentu. Dia menjadi lebih unggul dibandingkan dengan orang lain. Pada jaman dulu budaya Jawa sangat ketat mempertahankan kebangsawanan. Orang yang terlahir sebagai bangsawan tidak boleh bergaul dengan orang yang bukan bangsawan atau bangsawan yang lebih rendah. Apalagi mereka menikah dan sebagainya. Kisah kasih Pronocitro dan Roro Jogran mencerminkan adanya batasan itu. Dalam budaya Cina juga ada kisah Sam Pek dan Ing Tay yang mencerminkan hal yang sama. Namun sekarang gelar kebangsawanan tidak lagi mendampatkan penghormatan, maka orang berusaha mencari aneka gelar akademik, kekayaan dan jabatan untuk memperoleh penghormatan. Orang sangat bangga bila di depan atau belakang namanya ada aneka gelar akademik atau aneka jabatan. Semua gelar ditulis rapi agar orang yang tidak punya gelar menghormatinya. Tata nilai dunia ini tidak adil, sebab kapankah Mbok Jah yang hanya berjualan sayuran eceran atau Laksmi yang hanya seorang pekerja seks kelas teri di stasiun atau Asep yang hanya anak jalanan akan dihormati oleh orang lain yang bergelar profesor, berjabatan sekwilda dan sebagainya? Mereka hanya akan diperlakukan sewenang-wenang, tidak dianggap manusia, padahal martabat Asep sama dengan Pak Banu yang berpangkat jendral. Keduanya adalah citra Allah. Suatu hari aku dan teman-teman dari rumah singgah diundang seseorang yang berulang tahun di sebuah rumah makan mewah. Ketika kami datang, maka orang itu langsung mempersilahkan aku duduk di tempat yang sudah disediakan, sedangkan teman-temanku yang lain tidak dipedulikan. Hal ini terjadi karena aku adalah seorang pendidik dan teman-temanku adalah anak jalanan. Padahal martabatku sama dengan mereka. Inilah nilai dunia yang hendak diubah oleh Yesus.
Penghormatan kepada kaum bawahan hanya bisa dilakukan bila orang yang dianggap atasan berani melepaskan atribut pemberian duniawi yang menempel di dirinya. Yesus melepaskan jubahnya yang melambangkan statusNya sebagai guru. Dia mengambil posisi hamba. Ini adalah salah satu bentuk pengosongan diri. Yesus sadar bahwa Dia adalah Guru namun berani melepaskan lambang-lambang keguruan. Keguruan Yesus bukan terletak pada lambang jubah melainkan kewibawaannya dalam mengajar, teguh dalam prinsip, kearifan, kebijaksanaan, belas kasih dan sebagainya. Dengan demikian keguruan Yesus bukan dari apa yang ditempelkan oleh masyarakat melainkan apa yang ada dalam diriNya. Pernah ada sekelompok kaum kaya yang ingin ikut bersamaku mengunjungi kaum miskin di sebuah daerah kumuh. Jauh sebelumnya aku sudah mengatakan pada mereka bahwa agar mereka menyesuaikan diri dengan orang yang akan dikunjungi. Namun pada hari kunjungan aku menjadi terheran-heran. Mereka memakai aneka asesoris yang bagi mereka sederhana namun bagi kaum miskin sebuah kemewahan yang membuat mereka bermimpi. Mereka tidak mau duduk di tikar yang sudah disediakan, sebab takut kotor, penyakit dan aneka alasan lain. Bagiku ini bukan bentuk penghormatan pada kaum miskin, sebab dengan sikap dan penampilan begitu kaum miskin masih harus menunduk-nunduk di hadapan mereka dan mengangguk-anggukan kepalanya pada setiap kata yang meluncur dari bibir para tamu, meski aku kadang ragu apakah mereka memahami yang dimaksudkan oleh para tamu itu. Penghormatan terjadi kalau orang berani menempatkan diri pada posisi yang lebih rendah. Yesus mencuci kaki para murid. Dia memposisikan diri sebagai budak. Namun Dia tidak menjadi budak para murid. Disini muncul ketegangan bagaimana aku dapat memposisikan diri sebagai budak namun tetap sadar bahwa aku bukan budak. Bagiku bergaul dengan anak jalanan, pengemis, gelandangan, pekerja seks, dan sebagainya bukan berarti aku harus menjadi bagian dari mereka. Aku tetaplah seorang pendidik. Aku harus tetap mempertahankan eksistensiku sebagai pendidik. Hal ini bukan dengan seragam batik, melainkan bagaimana aku bisa membawa mereka menjadi orang yang lebih baik. Tugas pendidik yaitu membawa manusia untuk semakin dekat dengan Allah dan hidup lebih baik tidak aku letakan pada aneka gelar akademik melainkan bagaimana perkataan, sikap hidup, dan pemikiranku mampu membawa kaum miskin mengenal Allah. Aku harus mampu duduk di tikar mereka, berpenampilan seperti mereka, berbicara dengan bahasa mereka dan sebagainya, namun aku masih harus tetap menghayati statusku sebagai pendidik dan sadar akan tugas perutusanku. Disinilah sering kali timbul kesulitan besar. Aku sendiri diingatkan kembali akan semuanya itu oleh Yesus yang dengan tegas mengatakan bahwa Dia adalah Guru dan Tuhan